Rabu, 09 Agustus 2017

Halo, akhirnya pengen lagi untuk update blog saya kali ini. Dan thema tulisan kali ini adalah ingin menanggapi opini dari seorang rekan mengenai penerima beasiswa. Tulisan beliau selengkapnya bisa check di link di sini.

Singkatnya, si mas author menulis opini itu juga untuk menanggapi artikel salah satu penerima beasiswa. Adapun saya disini tertarik untuk mengulas tulisan beliau dari point2 yang dituliskannya, sekaligus mengeluarkan opini dari sudut pandang saya sebagai (juga) salah satu awardee dari suatu beasiswa yang diberkati sampai saat ini (puji Tuhan!). Oke kita mulai saja. 
Catatan: Artikel beliau saya tulis dengan warna merah, dan tanggapan saya dengan warna biru.

Mulai alinea pertama:
Tugas mahasiswa penerima beasiswa itu kuliah, lulus, dan memberikan ilmunya ke masyarakat. Kalau pelesir, itu kerjaan traveler. Jangan kemaruk. Nanti kalau mahasiswa pelesir, jadi traveler, lalu menulis dan jadi travel-blogger, saya kehabisan lahan
Disini saya ingin menyoroti perihal logika yang beliau pakai:
A: Mahasiswa tugasnya kuliah, lulus dan memberikan ilmu ke masyarakat.
B: Traveler itu kerjanya plezier. 
C: Mahasiswa tidak boleh jadi plezier karena kemaruk
Masalahnya adalah, kami penerima beasiswa juga adalah kumpulan manusia yang sudah dijamin hak asasi nya, termasuk salah satunya untuk mendapat konten hiburan. Tulisan anda ini dapat saya tangkap sebagai salah satu upaya untuk mencederai hak asasi saya sebagai manusia, yang bahkan diakui oleh PBB. Jika saya menanyakan balik ke anda, apakah anda sebagai traveler pernah dibatasi hak nya untuk sekolah?

Lanjut alinea kedua:
Lagipula, kenapa membuat apologi dengan playing victim? Dari tulisan itu, seolah mahasiswa yang mendapatkan beasiswa itu paling menderita. Mbok bikin apologi itu yang lebih intelek. Apa pelesir jadi obat untuk itu semua? Lebih menderita mana mahasiswa penerima beasiswa dibanding Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, yang hampir tiap saat kita dengarkan berita tentang kenestapaannya?
Saya setuju kalau kami memang harus bersyukur dan jangan selalu playing victim. Hanya saja, kembali lagi, liburan juga adalah hak asasi kami dan anda tidak mempunyai hak 0.0000...1% sekalipun untuk mencederai itu, kecuali anda tidak mengakui Hak Asasi Manusia. Kemudian, saya ingin tahu data yang anda bisa tunjukkan mengenai presentasi TKI yang nestapa, beserta the truth behind each story. Kenapa? Karena selalu mudah untuk membuat stereotype berdasarkan data2 specific yang mendukung interest anda (jadi keingat majas "pars pro toto"-> menyebut sebagian untuk menyatakan keseluruhan, cmiiw). However, stereotype sangat rawan untuk bias. Silakan dibaca artikel ini sebagai dasar argumentasi saya akan stereotype.

Next, alinea keempat:
Bandingkan dengan para TKI yang jelas-jelas pahlawan devisa pulang ke Indonesia, di bandara saja, kadang disambut dengan kehinaan. Bertahun-tahun tidak bertemu keluarga demi memperbaiki nasib.
Hampir sama dengan alinea kedua, tolong lampirkan data yang valid sebagai support argument anda. Juga tolong dijelaskan definisi kehinaan disini. 

Lanjut, alinea keenam:
Mak El dan para TKI sama, mendapatkan previlese yang tidak didapat di dalam negeri. Namun, perlakuannya kan beda? Apa karena mahasiswa penerima beasiswa itu intelek sehingga lebih bebas untuk jalan-jalan? Ya tidak, lebih pantas para TKI untuk jalan-jalan dan pelesir. Mereka pakai uang hasil jerih payahnya sendiri. Jangan menyamaratakan? Ya tidak. Namun, coba jelaskan, itu jalan-jalan pakai uang apa? Tidak usah ngomong soal transparansi, akuntabilitas, atau apologi aneh-aneh lainnya. Cukup jelaskan itu uang jalan-jalan dari mana. Ini era keterbukaan informasi, makanya mahasiswa penerima beasiswa juga harus terbuka. Berani jujur uang jalan-jalan itu uang siapa atau … ? Bukan kebanyakan apologi seperti Mak El.
Saya setuju dengan point kalau TKI berhak jalan2 dari hasil keringatnya sendiri, dan saya rasa tidak ada juga orang yang melarang mereka untuk travelling, bukan?
Kami pun sebenarnya (in a way) sama dengan TKI, hanya kalau TKI pergi keluar negeri untuk bekerja secara fisik membanting tulang, maka kami dibayar untuk menunjukkan kerja intelektual kami di dunia perkuliahan dan/atau penelitian. Jadi kalau anda mendukung hak travelling untuk TKI, harusnya kami juga ga dibatasi dong hak nya. 

Kemudian di alinea ketujuh:
Anda kan di birokrasi, pasti tahu persis bagaimana memperlakukan uang negara. Seseorang kudu diklat Pengadaan Barang dan Jasa, harus menghafal banyak pasal aturan, dan ketika bekerja pun gemetaran karena takut dengan pemeriksaan Itjen atau BPK. Sementara, penerima beasiswa menerima uang dari negara dengan cara yang mudah. Eh, dihabiskan begitu saja untuk pelesir? Apa tidak sedih itu para pejabat pengadaan, yang kalau mau mengeluarkan uang negara satu rupiah saja berpikir hingga stres? Lha para penerima beasiswa tinggal duduk manis menunggu transferan, kok ya enak saja menghabiskan uang negara dengan gampangnya.
Anda pikir pemberi beasiswa sebodoh itu merelakan uangnya untuk kami pakai begitu saja? Tentu saja ada sistem kontrol (kami wajib melaporkan perkembangan kuliah kami, walau kadang progress nya memalukan / bahkan tidak ada progress sama sekali), juga ada kontrak dengan sederet hak dan kewajiban yang kami tanda tangani dan berkekuatan hukum. 
Kemudian juga, para pejabat pengadaan (PPK) itu mempunyai tugas seperti demikian dalam pekerjaannya, dan saya memahami adanya ancaman setiap hari dalam pekerjaan mereka. Akan tetapi, mereka dibayar untuk itu, dan mereka bisa memakai gaji mereka dengan bebas. Kalau anda ingin kami untuk melewati proses yang sama seperti para pejabat tersebut dalam mengelola uang untuk kebutuhan hidup dan kuliah kami, apakah anda siap memberi kami gaji tambahan untuk hidup kami disini??

Alinea kedua terakhir yang saya ingin tanggapi:
Saya sih berharap kotak empati mahasiswa penerima beasiswa itu dibuka sedikit saja. Lihat, Indonesia masih banyak masalah. Harapan saya sederhana, kuliah saja yang benar lalu giving back ke negara dan bangsa. Penerima beasiswa, apalagi yang dibiayai negara, memanggul kewajiban bagi bangsa dan negara. Bukan malah previlesenya diemplok sendiri demi mempercantik CV di Linkedin. Dan tahu tidak, ada pembayar pajak yang tulus dan ikhlas membayar pajak dan berharap negara ini menjadi lebih baik? Ada pegawai pajak yang bekerja sampai larut malam demi tercapainya penerimaan negara yang sebagian uangnya dipakai untuk Anda-Anda kuliah? Opo yo tumon kalau situ malah pelesir-pelesir? Mbok ya empati sedikit.
1. Kuliah sendiri tidak 7/24, selalu ada leisure time. Di tempat saya sendiri kuliah hanya 5 hari seminggu. Terus sisa 2 hari itu saya harus kuliah dimana ya?
2. Apa ya korelasi antara travelling dan "mempercantik CV di LinkedIn"? Selama saya mengikuti wawancara kerja, juga dari konsultasi company days, saya tidak pernah dapat tips ini. Mungkin beliau bisa memberi info perihal company yang take travel experiences into account. Saya pingin coba daftar soalnya hehe.
3. Sebagian uang pajak dipakai saya kuliah? Untuk info saja, biaya kuliah disini per tahun itu 13.942EUR, dan saya mendapat jatah biaya hidup 1200EUR per bulan. Mari kita berhitung singkat:
Biaya kuliah: 13942*2 = 27.884 = 418.260.000 IDR
Biaya hidup: 1200*24 = 28.800+ 2400 = 31.200EUR = 468.000.000 IDR
Insurance: 950EUR = 14.250.000 IDR
Total = 900.510.000 IDR
Ternyata bahkan <1M loh. Meanwhile, pendapatan pajak NKRI tahun 2016 adalah 1,105T loh. Kalau dalam presentasi, ternyata dana beasiswa saya ini hanya sekitar 0.09%. Terus sebagian (pengertian saya sebagian = 1/2 dari 1 bagian = 50%) ini data nya darimana ya?
4. Soal empati yang daritadi disinggung terus padahal dia ga salah apa2 (tau kok ini jayus), saya ingin menanyakan sebaliknya ke beliau perihal empati dia terhadap proses yang kami alami dalam perkuliahan kami. Tidak sedikit yang stress (http://delta.tudelft.nl/article/stressing-out-at-tu-delft/24861), juga sulitnya untuk mendapat nilai yang memuaskan (https://www.studyinholland.nl/documentation/grading-systems-in-the-netherlands-the-united-states-and-the-united-kingdom.pdf), belum dengan kesulitan2 lain, seperti jika ada keluarga di yang meninggal di Indonesia, masalah home sick, culture shock dll. Hal2 ini perlu juga diingat sebelum judge seorang mahasiswa perantau.

Sebagai tambahan info mengenai jalan2, dari site berikut (http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/Quality_of_life_in_Europe_-_facts_and_views_-_leisure_and_social_relations), dijelaskan bahwa rata-rata penduduk Eropa menghabiskan 9,3% uang mereka for leisure, angka yang sama didapat in terms of allocated time. Itu kurang sepersepuluh dari hidup mereka.

Hanya ini saja tanggapan dari saya mengenai artikel mas Farchan, semoga yang membaca bisa memahami maksud saya dan menjadi lebih kritis dan objektif dalam melihat suatu problem.



Minggu, 19 Februari 2017

VERTICAL DRAINAGE, YANG BENAR AJA BROH?


Baru-baru ini saya melihat berita kampanye Pilkada DKI Jakarta (yang lagi hitz banget itu loh...), dan saya jadi tertarik dengan program salah satu paslon untuk menanggulangi banjir, yaitu Vertical Drainage. Kutipan berita berikut diambil dari detik.com (https://news.detik.com/berita/d-3424984/anies-usul-vertical-drainage-atasi-banjir-ahok-berkukuh-normalisasi) :


"Pada akhirnya pengelolaan air harus menggunakan vertical drainage, bukan horizontal drainage. Artinya, dialirkan ke laut saja belum cukup. Tetap dimasukkan ke bumi, dan bumi Jakarta memerlukan air. Ke depan, vertical drainage, bukan horizontal drainage,"


Nah, usulan ini kelihatannya ilmiah banget, tapi apakah itu benar-benar solusi yang tepat?
Berikut ini saya kutip ulasan tentang Vertical Drainage, dari webpage Considerate Constructors Scheme (https://ccsbestpractice.org.uk/entries/constantly-improving-techniques-used-on-site-vertical-draining/)


The purpose of vertical drainage is to promote the transport of water in the soil, thereby speeding up the consolidation process. A stable situation is achieved more quickly, considerably reducing the filling time, while the accelerated settlement process allows work to start sooner on finishing the fill. This results in a shorter construction period, which can be of both economic and social benefit.

The way vertical drainage works is based on the principle that drains are installed vertically into the ground a regular distance apart. These drains have the task of absorbing the inflowing water without significant resistance and draining it away vertically. The use of drains changes the route that water particles have to take through the low-porosity soil. Vertical drains are used to change the direction of flow from a mainly vertical direction to a mainly horizontal direction. 
Depending on the depth, the water flows across half the distance between drains in a horizontal direction and then flows vertically out through the drains having passed through all or half of the stratum thickness without much resistance.

Moreover, a vertical drainage system can also be used for the vertical transport of free water. This type of drainage is known as dewatering.

Vertical drainage can be used in embankment projects when the natural settlement process cannot be completed properly within the available time. Vertical drainage also provides a solution when a site does not become stable fast enough, while the embankment must be completed quickly within a tight time schedule. 



Jadi guys, vertical drainage itu, simple nya, adalah salah satu teknik perbaikan/perkuatan tanah, yakni dengan cara "memaksa" air tanah untuk mengalir keluar dari tanah sehingga konsolidasi makin cepat, serta mempersingkat durasi yang diperlukan dalam pemadatan tanah. Hal ini berkaitan dengan fungsi tanah sendiri sebagai pondasi dalam suatu proyek konstruksi.
So, vertical drainage itu fungsi nya adalah MENGELUARKAN air, bukan MEMASUKKAN air via proses infiltrasi ke dalam tanah.

Mungkin yang dimaksud dengan paslon tersebut adalah SUMUR RESAPAN, dan bukan VERTICAL DRAINAGE. Tapi okelah, saya juga ingin mengecek mengenai ini. 


Sumur resapan, dikutip dari CNN Indonesia (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160405110943-20-121759/wawancara-jakarta-butuh-ratusan-ribu-sumur-resapan-air--1-/), ternyata bukanlah solusi yang cukup feasible.



Saat ini pemerintah provinsi DKI Jakarta punya sekitar dua ribu sumur resapan dengan kedalaman 3,6 meter. Apakah sumur resapan proyek pemerintah itu sudah bisa diandalkan untuk menampung air hujan? 
Itu tidak cukup. Untuk DAS Mampang saja yang panjangnya mencapai 32 kilometer persegi itu memerlukan ratusan ribu sumur resapan. Proyek 2.000 sumur resapan DKI itu idenya sudah bagus, hanya saja pekerjaan detailnya yang harus disupervisi. 

Banyak penempatan sumur resapan di lokasi yang bukan menjadi alur air. Contoh air yang ditampung itu hanya sebatas satu meter persegi karena penempatannya di daerah yang lebih tinggi dari alur air. 

Padahal satu sumur resapan itu targetnya bisa bisa menampung minimal 100 meter persegi air hujan. Selain itu, air hujan yang masuk itu terkadang membawa rumput atau terkadang daun-daun, sehingga menutup saluran. Jadi harus ada sedikit inovasi dalam hal perawatannya.




Mungkin misi yang lebih tepat untuk diucapkan adalah: memperbanyak sumur resapan untuk mengurangi banjir, sesuai dengan peraturan yang ada (ternyata adalah loh undang-undang soal kewajiban tiap rumah untuk menyediakan sumur resapan). Tetapi, solusi utama tetap harus dengan normalisasi sungai, yang artinya, memang harus melakukan relokasi, yang tentunya bersifat selektif.
Lebih lanjut, berikut saya kutip dari kompas.com http://sains.kompas.com/read/2015/09/21/15230021/Normalisasi.Jadi.Solusi.Banjir?page=all yang memuat pendapat salah satu Guru Besar di IPB Bogor mengenai pentingnya normalisasi sungai.



Guru Besar Hidrologi Institut Pertanian Bogor Hidayat Pawitan menyampaikan, dengan perkembangan permukiman Jabodetabek, telah terjadi peningkatan limpasan air permukaan. Peningkatan aliran sungai ini dari sekitar 300 meter kubik per detik pada 1970 menjadi 600 meter kubik per detik pada 2000. Aliran sungai akan menggerus alur sungai horizontal dan vertikal. 

 Merelokasi warga ini menjadi beban terberat pemerintah dalam normalisasi Ciliwung. "Dalam hal ini, kemauan politik serta konsistensi pemerintah kota dan pusat sangat menentukan berhasilnya relokasi juga kelancaran pelaksanaan proyek. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut-larut, makin bertambah masalahnya," katanya.





To conclude this essay, saya jadinya cukup meragukan kapabilitas pasangan ini untuk menjalankan program ini, apalagi untuk membuat Jakarta bebas banjir. Gimana ngga, ngasih solusi nya saja udah pake istilah yang salah.
Tapi lebih lanjut lagi saya tidak menutup kemungkinan untuk menerima masukan (yang bersifat scientific tentunya) jika sumur resapan benar2 efektif untuk membebaskan Jakarta dari banjir.

Sekian dari saya, tot de volgende artikelen.