Minggu, 19 Februari 2017

VERTICAL DRAINAGE, YANG BENAR AJA BROH?


Baru-baru ini saya melihat berita kampanye Pilkada DKI Jakarta (yang lagi hitz banget itu loh...), dan saya jadi tertarik dengan program salah satu paslon untuk menanggulangi banjir, yaitu Vertical Drainage. Kutipan berita berikut diambil dari detik.com (https://news.detik.com/berita/d-3424984/anies-usul-vertical-drainage-atasi-banjir-ahok-berkukuh-normalisasi) :


"Pada akhirnya pengelolaan air harus menggunakan vertical drainage, bukan horizontal drainage. Artinya, dialirkan ke laut saja belum cukup. Tetap dimasukkan ke bumi, dan bumi Jakarta memerlukan air. Ke depan, vertical drainage, bukan horizontal drainage,"


Nah, usulan ini kelihatannya ilmiah banget, tapi apakah itu benar-benar solusi yang tepat?
Berikut ini saya kutip ulasan tentang Vertical Drainage, dari webpage Considerate Constructors Scheme (https://ccsbestpractice.org.uk/entries/constantly-improving-techniques-used-on-site-vertical-draining/)


The purpose of vertical drainage is to promote the transport of water in the soil, thereby speeding up the consolidation process. A stable situation is achieved more quickly, considerably reducing the filling time, while the accelerated settlement process allows work to start sooner on finishing the fill. This results in a shorter construction period, which can be of both economic and social benefit.

The way vertical drainage works is based on the principle that drains are installed vertically into the ground a regular distance apart. These drains have the task of absorbing the inflowing water without significant resistance and draining it away vertically. The use of drains changes the route that water particles have to take through the low-porosity soil. Vertical drains are used to change the direction of flow from a mainly vertical direction to a mainly horizontal direction. 
Depending on the depth, the water flows across half the distance between drains in a horizontal direction and then flows vertically out through the drains having passed through all or half of the stratum thickness without much resistance.

Moreover, a vertical drainage system can also be used for the vertical transport of free water. This type of drainage is known as dewatering.

Vertical drainage can be used in embankment projects when the natural settlement process cannot be completed properly within the available time. Vertical drainage also provides a solution when a site does not become stable fast enough, while the embankment must be completed quickly within a tight time schedule. 



Jadi guys, vertical drainage itu, simple nya, adalah salah satu teknik perbaikan/perkuatan tanah, yakni dengan cara "memaksa" air tanah untuk mengalir keluar dari tanah sehingga konsolidasi makin cepat, serta mempersingkat durasi yang diperlukan dalam pemadatan tanah. Hal ini berkaitan dengan fungsi tanah sendiri sebagai pondasi dalam suatu proyek konstruksi.
So, vertical drainage itu fungsi nya adalah MENGELUARKAN air, bukan MEMASUKKAN air via proses infiltrasi ke dalam tanah.

Mungkin yang dimaksud dengan paslon tersebut adalah SUMUR RESAPAN, dan bukan VERTICAL DRAINAGE. Tapi okelah, saya juga ingin mengecek mengenai ini. 


Sumur resapan, dikutip dari CNN Indonesia (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160405110943-20-121759/wawancara-jakarta-butuh-ratusan-ribu-sumur-resapan-air--1-/), ternyata bukanlah solusi yang cukup feasible.



Saat ini pemerintah provinsi DKI Jakarta punya sekitar dua ribu sumur resapan dengan kedalaman 3,6 meter. Apakah sumur resapan proyek pemerintah itu sudah bisa diandalkan untuk menampung air hujan? 
Itu tidak cukup. Untuk DAS Mampang saja yang panjangnya mencapai 32 kilometer persegi itu memerlukan ratusan ribu sumur resapan. Proyek 2.000 sumur resapan DKI itu idenya sudah bagus, hanya saja pekerjaan detailnya yang harus disupervisi. 

Banyak penempatan sumur resapan di lokasi yang bukan menjadi alur air. Contoh air yang ditampung itu hanya sebatas satu meter persegi karena penempatannya di daerah yang lebih tinggi dari alur air. 

Padahal satu sumur resapan itu targetnya bisa bisa menampung minimal 100 meter persegi air hujan. Selain itu, air hujan yang masuk itu terkadang membawa rumput atau terkadang daun-daun, sehingga menutup saluran. Jadi harus ada sedikit inovasi dalam hal perawatannya.




Mungkin misi yang lebih tepat untuk diucapkan adalah: memperbanyak sumur resapan untuk mengurangi banjir, sesuai dengan peraturan yang ada (ternyata adalah loh undang-undang soal kewajiban tiap rumah untuk menyediakan sumur resapan). Tetapi, solusi utama tetap harus dengan normalisasi sungai, yang artinya, memang harus melakukan relokasi, yang tentunya bersifat selektif.
Lebih lanjut, berikut saya kutip dari kompas.com http://sains.kompas.com/read/2015/09/21/15230021/Normalisasi.Jadi.Solusi.Banjir?page=all yang memuat pendapat salah satu Guru Besar di IPB Bogor mengenai pentingnya normalisasi sungai.



Guru Besar Hidrologi Institut Pertanian Bogor Hidayat Pawitan menyampaikan, dengan perkembangan permukiman Jabodetabek, telah terjadi peningkatan limpasan air permukaan. Peningkatan aliran sungai ini dari sekitar 300 meter kubik per detik pada 1970 menjadi 600 meter kubik per detik pada 2000. Aliran sungai akan menggerus alur sungai horizontal dan vertikal. 

 Merelokasi warga ini menjadi beban terberat pemerintah dalam normalisasi Ciliwung. "Dalam hal ini, kemauan politik serta konsistensi pemerintah kota dan pusat sangat menentukan berhasilnya relokasi juga kelancaran pelaksanaan proyek. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut-larut, makin bertambah masalahnya," katanya.





To conclude this essay, saya jadinya cukup meragukan kapabilitas pasangan ini untuk menjalankan program ini, apalagi untuk membuat Jakarta bebas banjir. Gimana ngga, ngasih solusi nya saja udah pake istilah yang salah.
Tapi lebih lanjut lagi saya tidak menutup kemungkinan untuk menerima masukan (yang bersifat scientific tentunya) jika sumur resapan benar2 efektif untuk membebaskan Jakarta dari banjir.

Sekian dari saya, tot de volgende artikelen.